Bung Eko Supriatno : Politik Oplosan

sultannews.co.id
Selasa | 03:30 WIB Last Updated 2025-03-03T20:30:58Z

 

Photo Bung Eko Supriatno : 03/03/2025


PANDEGLANG,- “Pemimpin itu bukan cuma jago ngomong, tapi yang punya nyali bikin kata-kata jadi aksi, lepas dari politik oplosan, demi rakyat dan masa depan yang lebih mulia”


Bung Eko Supriatno

Kepemimpinan politik selalu menjadi sorotan utama dalam setiap perhelatan politik, tak terkecuali di Indonesia. Setiap kali musim Pilkada datang, media massabaik cetak, elektronik, maupun sosialselalu mengangkat figur-figur yang digadang-gadang akan menjadi pemimpin masa depan. Namun, seringkali yang kita temui bukanlah pemimpin yang benar-benar memiliki integritas dan visi kebangsaan yang kokoh, melainkan politikus yang lebih fokus pada kekuasaan dan pengaruh semata.



Setelah pilkada usai, realitas politik yang kita saksikan seringkali menunjukkan betapa politik lebih banyak dikuasai oleh kalkulasi kekuasaan ketimbang semangat untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Proses Pilkada, yang mestinya menjadi arena bagi pemilihan pemimpin yang benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat, kadang terjebak dalam praktik politik yang lebih mengutamakan strategi kekuasaan, uang, dan patronase daripada ide-ide kebijakan yang pro-rakyat.



Di tengah riuhnya dinamika politik pasca-pilkada, kita sering terjebak dalam wacana yang tidak produktif. Isu-isu yang seharusnya bisa membuka ruang untuk diskusi yang lebih sehat dan konstruktif, justru seringkali terfokus pada hal-hal yang tidak esensial, seperti latar belakang suku, agama, hingga ras seorang pemimpin.



Padahal, Indonesia sebagai negara dengan keberagaman yang sangat kaya telah menjadikan pluralisme sebagai salah satu landasan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam praktiknya, wacana semacam ini seringkali mengaburkan objektivitas dan mengarah pada pemilihan pemimpin berdasarkan identitas semata, bukan pada kapasitas dan visi kebangsaan yang jelas.



Ironisnya, pasca-Pilkada, politik Indonesia banyak dikuasai oleh politisi yang lebih mementingkan penguatan kekuasaan mereka dibandingkan dengan pengabdian kepada negara. Politikus sering kali terjebak dalam politik oplosanpolitik yang sarat dengan intrik, kepentingan pribadi, dan manipulasi demi kekuasaan. 



Padahal, seharusnya politik berfungsi untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menciptakan kebijakan yang pro-rakyat, bukan sebagai ajang bagi elit politik untuk memperkuat jaringannya.



Pemimpin yang terpilih melalui proses Pilkada sering kali lebih berorientasi pada penguasaan kekuasaan ketimbang pada visi untuk membangun bangsa. 



Banyak politisi yang lebih cenderung memainkan peran sebagai broker kekuasaan, yang mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, daripada menjadikan kebangsaan sebagai pijakan utama dalam setiap kebijakan yang mereka buat. 



Akibatnya, banyak kebijakan yang dihasilkan tidak memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat, dan justru memperlebar kesenjangan sosial.


Kondisi ini semakin jelas terlihat ketika kita menyaksikan betapa sulitnya masyarakat mendapatkan pemimpin yang benar-benar memiliki integritas, visi kebangsaan yang kuat, serta komitmen untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Politikus, yang terlalu sering mencetak keuntungan pribadi dalam sistem politik, telah mengabaikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. 



Dengan kata lain, politik Indonesia saat ini lebih banyak disuguhi dengan "oplosan" antara kekuasaan dan uang, yang justru memperburuk ketidakadilan dan kesenjangan sosial.


Namun, meskipun situasi ini terlihat suram, muncul harapan dari elemen-elemen masyarakat sipil, media, dan akademisi yang mulai mendorong perubahan. Masyarakat kini semakin kritis dalam menyikapi dinamika politik yang ada. Masyarakat sipil, media, serta akademisi memainkan peran penting dalam menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pemimpin yang memiliki visi kebangsaan dan komitmen untuk mengedepankan kepentingan rakyat. 



Mereka mendesak agar politik Indonesia tidak lagi hanya menghasilkan politikus, tetapi juga pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan nyata bagi bangsa.



Perubahan ini tentu tidak mudah, karena sistem politik yang ada telah mengakar kuat. Namun, dengan adanya gerakan dari berbagai elemen masyarakat yang mendesak perubahan, kita dapat berharap bahwa ke depannya, Indonesia akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya berwawasan, tetapi juga berkarakter, penuh integritas, dan memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa.



Sebagai wacana yang beredar tentang siapa yang layak memimpindari latar belakang suku, agama, atau rasharus diganti dengan wacana yang lebih konstruktif. Wacana yang berbicara tentang kepemimpinan yang memprioritaskan kebangsaan dan persatuan, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. 



Dengan begitu, kita akan memiliki pemimpin sejati yang mampu membawa perubahan positif bagi Indonesia, bukan sekadar politikus yang hanya mengejar kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok.



Ya, Politik pasca-Pilkada adalah refleksi dari bagaimana kita sebagai bangsa memandang kepemimpinan. Di satu sisi, kita dihadapkan pada kenyataan politik oplosan yang sering kali memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu. Namun, di sisi lain, ada harapan besar untuk perubahan yang lebih baik. 



Masyarakat yang semakin kritis dan bergerak untuk mengubah wacana politik yang berfokus pada kebangsaan, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat, menjadi titik terang di tengah gelapnya politik yang terjebak dalam intrik dan permainan kekuasaan.


Kepemimpinan Gubernur Terpilih 


Dalam dunia politik, ada banyak hal yang sering kali menjadi misteri. Sosok pemimpin yang tiba-tiba muncul dengan karisma yang menggetarkan, hingga wacana-wacana yang dibangun sedemikian rupa untuk memengaruhi opini publik. 



Politik pada dasarnya adalah permainan kekuasaan yang tak pernah lepas dari intrik, strategi, dan tentu saja, kepemimpinan. Namun, apakah setiap pemimpin politik benar-benar layak disebut sebagai pemimpin? Ataukah mereka hanyalah politikus yang pandai bermain kata-kata?



Fenomena kepemimpinan politik yang baru saja kita saksikan di Indonesia, seperti di Pilkada Jawa Timur yang melahirkan Khofifah Indar Parawansa, atau Pilkada Jawa Barat yang melahirkan Dedi Mulyadi, kembali menunjukkan bahwa karisma seringkali menjadi faktor utama dalam memenangkan hati publik. Mereka memiliki pengikut yang fanatik, dan dengan segala citra yang mereka bangun, seolah mampu memengaruhi massa. 



Namun, setelah terpilih, tantangan terbesar bagi mereka adalah apakah mereka benar-benar bisa membuktikan kemampuan kepemimpinannya, ataukah mereka hanya sekadar politisi yang pandai berbicara di depan publik.


Namun, ada satu nama yang juga mencuri perhatian dalam konteks politik lokal, yaitu Andra Soni dari Banten. Andra muncul sebagai figur yang memiliki karisma kuat dan pendekatan yang sangat dekat dengan masyarakat. Ia dikenal aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan memiliki kedekatan dengan rakyat Banten. Setelah terpilih, Andra Soni memiliki tantangan besar untuk membuktikan bahwa kepemimpinannya bukan sekadar citra belaka, tetapi juga menciptakan perubahan nyata. 


Apakah ia akan mampu membawa kebijakan yang pro-rakyat, ataukah politik oplosan yang sering menghiasi jalur kepemimpinan di Indonesia kembali menjadi kenyataan?


Karisma memang menjadi modal utama bagi banyak pemimpin politik. Namun, karisma saja tidak cukup. Seorang pemimpin, seperti halnya yang terjadi pada pemilihan gubernur, harus diuji oleh kebijakan-kebijakan yang diambilnya, yang pada akhirnya berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.


 Apakah para pemimpin ini bisa menerjemahkan janji-janji kampanye mereka menjadi kebijakan yang jelas, terukur, dan bermanfaat bagi rakyat banyak?



Ambil contoh Pramono Anung, yang pada masa lalu menjadi Menteri Sekretaris Negara dan sempat digadang-gadang sebagai calon pemimpin masa depan. Namun, tantangannya kini adalah apakah ia bisa membawa pembaruan nyata di wilayah yang dipimpinnya? Apakah ia akan mengutamakan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat, ataukah hanya terjebak dalam permainan politik yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu?


Dedi Mulyadi, yang dikenal sebagai politisi yang sangat dekat dengan masyarakat di Jawa Barat, juga menjadi contoh lain. Dedi, yang selama ini dikenal dengan gaya politik "blusukan" dan kerap turun langsung ke lapangan, mampu memenangkan hati banyak orang. 


Namun, setelah terpilih menjadi gubernur, pertanyaannya adalah: apakah pendekatan yang selama ini digunakan mampu menjadi solusi bagi permasalahan sosial dan ekonomi yang ada di Jawa Barat? 


Apakah ia akan mampu membuat kebijakan yang lebih inklusif dan pro-rakyat, atau hanya terjebak dalam politik jangka pendek yang berfokus pada kepentingan pribadi dan kelompok?


Pemimpin atau Politikus?


Di Indonesia, khususnya setelah Pilkada, seringkali kita melihat bahwa politik lebih banyak menghasilkan politikus daripada pemimpin sejati. Politikus sering kali lebih cenderung berfokus pada kepentingan pribadi atau golongan mereka, sementara pemimpin sejati seharusnya memiliki visi kebangsaan yang lebih besar dan berkomitmen pada kesejahteraan rakyat. 



Dalam konteks ini, kita bisa bertanya, apakah Pramono Anung, Khofifah Indar Parawansa, Dedi Mulyadi, Ahmad Lutfi, dan Andra Soni akan mampu menjadikan politik sebagai alat untuk memperjuangkan kemajuan bangsa, ataukah mereka hanya akan terjebak dalam politik yang menguntungkan diri dan kelompok mereka sendiri?


Wacana-wacana tentang siapa yang layak memimpin, yang selama ini sering kali diwarnai oleh isu-isu identitas seperti suku, agama, atau ras, harus mulai digeser menjadi wacana yang lebih konstruktif. Wacana yang berbicara tentang kepemimpinan yang memprioritaskan kebangsaan, persatuan, serta kesejahteraan rakyat. 



Jika ini bisa tercapai, kita akan melihat pemimpin sejati yang mampu membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik, bukan sekadar politikus yang hanya mengejar kekuasaan dan keuntungan pribadi.


Ya, kepemimpinan pasca-Pilkadabaik di Jawa Timur, Jawa Barat, atau di wilayah lainharus benar-benar diuji oleh kebijakan yang diambil dan dampaknya terhadap masyarakat. Para gubernur terpilih seperti Pramono Anung, Khofifah Indar Parawansa, Dedi Mulyadi, Ahmad Lutfi, dan Andra Soni, harus membuktikan bahwa mereka bukan sekadar politikus yang pandai berbicara, tetapi pemimpin yang siap membawa perubahan nyata. Wacana yang berfokus pada karisma semata harus digeser menjadi wacana yang lebih konstruktif, berbicara tentang visi kebangsaan, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat. 



Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa Indonesia akan dipimpin oleh pemimpin sejati, bukan politikus yang hanya mengejar kekuasaan semata.



Pemimpin Politik Sejati 


Politik, dalam segala kompleksitasnya, memang tak bisa dilepaskan dari tarik-ulur kepentingan dan kekuasaan. Tetapi di balik segala intrik dan transaksi itu, ada harapan besar yang tersembunyi  harapan akan pemimpin yang bukan sekadar politikus, tetapi pemimpin sejati. Mereka yang tak hanya pandai bermain kata-kata, tetapi mampu mewujudkan visi mereka menjadi tindakan nyata.



Kita hidup di zaman yang penuh dengan tantangan, di mana politik sering kali diracuni oleh kepentingan sesaat dan politik oplosan yang merugikan banyak pihak. Namun, kita tidak boleh terperangkap dalam kebisingan itu. Kita memiliki kekuatan untuk menciptakan wacana baruwacana yang mengedepankan kebangsaan, persatuan, dan kesejahteraan rakyat. 


Dengan cara itu, kita akan menemukan pemimpin yang tidak hanya menjanjikan perubahan, tetapi benar-benar mampu mewujudkannya.


Sebagai masyarakat, kita harus lebih kritis terhadap setiap wacana yang beredar, mengingat bahwa wacana adalah alat yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik. Jangan biarkan politik identitas atau politik oplosan menjadi satu-satunya hal yang kita nilai dalam memilih pemimpin. 


Pilihlah pemimpin yang memiliki visi untuk masa depan, yang mampu mengubah realitas, dan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi.


Pada akhirnya, politik adalah tentang kita semuarakyat yang hidup bersama dalam negara ini, dengan mimpi dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Mungkin, politik yang kita inginkan belum sepenuhnya hadir sekarang, namun bukan berarti itu mustahil. 


Perubahan itu dimulai dari langkah kecil, dari pemimpin yang berintegritas dan rakyat yang tidak pernah lelah berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan. 


Di dunia yang terus berubah, harapan untuk menemukan pemimpin sejati, yang mengutamakan kebangsaan di atas segalanya, tetaplah ada. Kita hanya perlu memastikan bahwa kita tidak terjebak dalam politik oplosan yang hanya memperkaya segelintir orang, tetapi tetap berjalan menuju pemimpin yang sesungguhnya, pemimpin yang bisa membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik." (Red/Tayo) 



Penulis Opini : BUNG EKO SUPRIATNO : Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Mathla'ul Anwar (BRIMA) Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathlaul Anwar Banten.

iklaniklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Bung Eko Supriatno : Politik Oplosan

Trending Now

Iklan