Oleh : Kamaludin, Aktivis Pemerhati Kebijakan Publik
OPINI - Pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yandri Susanto, dalam sebuah forum diskusi bersama Komjen Pol. Fadil Imran, yang menyebut LSM dan wartawan sebagai pengganggu kepala desa dan menuding mereka sebagai pemeras, adalah bentuk ujaran sembrono yang tidak hanya mendiskreditkan masyarakat sipil tetapi juga mencederai demokrasi.
Pernyataan ini berbahaya karena menciptakan stigma negatif terhadap dua elemen penting dalam sistem kontrol sosial, LSM sebagai pengawas kebijakan dan wartawan sebagai pilar utama kebebasan pers.
Tuduhan Yandri bahwa "wartawan bodrek" dan LSM melakukan praktik pemerasan tanpa dasar yang jelas merupakan bentuk generalisasi liar yang tidak bertanggung jawab. Jika memang ada oknum yang melakukan pelanggaran, semestinya menteri menggunakan mekanisme hukum yang tersedia, bukan justru menghakimi secara kolektif seluruh profesi.
Sikap seperti ini mencerminkan mentalitas otoriter yang anti-kritik dan lebih memilih untuk menyalahkan pengawas daripada membenahi sistem yang bermasalah.
Dalam perspektif hukum, pernyataan Yandri dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Selain itu, stigma yang dia sebarkan berpotensi menimbulkan diskriminasi dan tindakan represif terhadap wartawan dan aktivis LSM, yang bertentangan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dalam UUD 1945 Pasal 28F.
Sebagai pejabat negara, Yandri seharusnya memahami bahwa ucapannya memiliki dampak luas, termasuk memicu ketakutan di kalangan kepala desa untuk berinteraksi dengan jurnalis dan aktivis yang justru berperan sebagai mitra dalam pembangunan desa.
Selain aspek hukum, pernyataan ini juga menunjukkan kegagalan Yandri dalam memahami esensi pengelolaan dana desa yang transparan dan akuntabel. Jika kepala desa merasa "diganggu," pertanyaannya adalah: apakah mereka memiliki sesuatu yang ingin ditutupi? Justru keberadaan LSM dan wartawan membantu memastikan dana desa digunakan sebagaimana mestinya, bukan diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pernyataan ini semakin mencurigakan jika dilihat dalam konteks maraknya kasus korupsi dana desa yang melibatkan pejabat desa hingga level kementerian.
Dengan sikapnya ini, Yandri telah merusak hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil yang seharusnya bersinergi dalam pembangunan. Jika pemerintah merasa benar dan tidak memiliki pelanggaran, mengapa harus takut terhadap pemantauan dari pihak luar? Justru, pejabat yang bersih akan membuka diri terhadap kritik, bukan malah menyalahkan mereka yang berusaha menegakkan transparansi.
Pernyataan Yandri hanya akan memperburuk citra pemerintah dan membuka ruang bagi aparat desa yang korup untuk semakin leluasa bertindak.
Lebih jauh, pernyataan semacam ini membahayakan kebebasan pers, yang merupakan salah satu indikator demokrasi sehat. Jika pejabat tinggi dengan mudahnya melempar tuduhan tanpa bukti, maka tidak menutup kemungkinan akan ada tekanan lebih besar terhadap wartawan dan aktivis yang berani mengungkap skandal penyalahgunaan dana publik. Hal ini berpotensi mengarah pada otoritarianisme terselubung, di mana kritik dibungkam dan kekuasaan semakin lepas kendali.
Sebagai seorang pejabat negara, Yandri Susanto seharusnya segera meminta maaf secara terbuka kepada komunitas jurnalis dan aktivis LSM. Jika tidak, publik berhak mempertanyakan integritasnya sebagai seorang menteri yang justru seharusnya memastikan dana desa tidak disalahgunakan. Demokrasi membutuhkan transparansi, dan transparansi hanya bisa dijaga oleh masyarakat sipil yang kritis. Menyerang mereka sama artinya dengan merusak fondasi negara hukum yang sehat.