Oleh : Alnugransyah Asri
Peserta Advice Trening LKIII Kalimantan Barat 2025
OPINI - Indonesia, dengan populasi terbesar keempat di dunia dan sumber daya alam melimpah, memiliki cita-cita untuk mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045. Namun, di balik impian besar ini, ada sejumlah tantangan yang tak bisa diabaikan. Apakah Indonesia siap menghadapi tantangan tersebut?
Berdasarkan laporan dari Bank Dunia (2023), Indonesia saat ini masih menghadapi ketimpangan sosial dan ekonomi yang cukup tinggi. Meskipun angka kemiskinan terus menurun, data BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa 9,22% dari populasi Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan pada 2023.
Ketimpangan ini bisa menjadi salah satu faktor utama yang menghambat pencapaian Indonesia Emas.
Pemerintah Indonesia saat ini memiliki berbagai kebijakan yang diharapkan dapat mempercepat laju pembangunan, seperti Program Pembangunan Infrastruktur Nasional, Reformasi Sistem Pendidikan, dan peningkatan kualitas SDM.
Namun, kebijakan ini tidak selalu berjalan mulus, dan kadang-kadang bertentangan dengan realitas sosial-ekonomi di lapangan.
Misalnya, meskipun sektor pendidikan mendapat perhatian lebih, kualitas pendidikan di banyak daerah Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2024 mencapai 75,02, meningkat 0,63 poin atau 0,85 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 74,39. Sedangkan dalam Human Development Report 2023/2024 yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP), Maret lalu, IPM Indonesia berada di angka 112 dunia. Persis di bawah Palestina, Afrika Selatan, Lebanon, Mesir, hingga Vietnam.
Pada skala Asia, Indonesia berada di urutan ke-18 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Disisi lain salah satu masalah terbesar yang menghambat kemajuan adalah ketergantungan Indonesia terhadap ekspor sumber daya alam.
Mengutip pernyataan ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, yang menyebutkan bahwa Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada sektor ekstraktif dan beralih ke sektor manufaktur dan teknologi untuk menghadapi persaingan global (Kompas, 2024).
Kebijakan yang tidak mendalam dalam memperkuat sektor teknologi dan inovasi berpotensi membuat Indonesia tertinggal dalam ekonomi global yang semakin berorientasi pada digitalisasi dan kecerdasan buatan.
Selain itu, tantangan global juga mengancam stabilitas ekonomi Indonesia. Ketegangan geopolitik antara negara-negara besar seperti AS dan China dapat berdampak pada perdagangan internasional yang krusial bagi Indonesia. Dalam menghadapi era revolusi industri 4.0, Indonesia membutuhkan kebijakan yang lebih agresif dalam meningkatkan literasi digital dan infrastruktur teknologi untuk dapat bersaing dengan negara-negara maju.
Pada sisi lain, pemerintah Indonesia terus berupaya menciptakan peluang dengan memperkenalkan kebijakan seperti "Omnibus Law" untuk menarik investasi.
Namun, dampak dari kebijakan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat bawah yang justru seringkali dirugikan akibat kurangnya perlindungan tenaga kerja.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kebijakan dibuat dengan tujuan jangka panjang, dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat dapat beragam, terutama jika tidak diiringi dengan penguatan sektor sosial dan kesejahteraan.
Bagi Indonesia, untuk meraih mimpi besar pada tahun 2045, diperlukan keberanian untuk menghadapi berbagai tantangan struktural dan ketidakmerataan pembangunan yang ada.
Sektor pendidikan, teknologi, serta pemerataan pembangunan harus menjadi fokus utama, bukan hanya sekedar janji-janji besar dalam dokumen kebijakan.
Pada akhirnya, mimpi Indonesia Emas 2045 tidak bisa dicapai dengan mudah hanya melalui slogan atau kebijakan yang tidak terintegrasi. Mimpi ini akan menjadi mimpi buruk jika Indonesia tidak mampu menghadapi ketimpangan sosial, kurangnya kualitas SDM, dan ketergantungan terhadap sektor ekstraktif.
Dengan kebijakan yang lebih holistik dan pelaksanaan yang lebih serius, Indonesia bisa menghindari jebakan ini dan benar-benar menjadi negara yang sejahtera pada tahun 2045.