Kontroversi Surat Kuasa Mutlak

sultannews.co.id
Selasa | 10:43 WIB Last Updated 2024-09-03T03:43:43Z

Oleh: Advokat Suwadi, SH, MH.

LEGAL OPINION - Lalu lintas pergaulan hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak. Dapat atau boleh memberikan “kuasa mutlak” sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUH Perdata. Seperti yang ditegaskan dalam Putusan MA No. 73K/Sip/1975 yang menyatakan:

“Oleh karena sifat perjanjian menghendaki adanya Surat Kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh Pemberi Kuasa, atau diperlukan adanya “Surat Kuasa Mutlak" maka hal itu dapat diterima, oleh karena Pasal 1813 BW (KUH Perdata) bersifat mengatur dan tidak mengikat”.

Namun demikian, sebaiknya Direksi menghindari pemberian kuasa mutlak. Resikonya sangat besar, sebab Direksi tidak dapat mencabutnya sewaktu-waktu melalui surat pemberitahuan berdasarkan Pasal 1813 KUH Perdata, apabila penerima kuasa tidak melaksanakan kuasa dengan itikad baik.

Bahwa menurut saya Putusan MA- RI tersebut sebagai salah satu sumber hukum yang dari sana kita bisa menemukan norma dan kaidah hukum untuk menegakan keadilan, namun sebagai praktisi hukum, kita pun tentu tahu bahwa tidak selamanya suatu Putusan MA- RI itu mengesampingkan suatu UU yang telah mengatur hal yang dimaksud yang bertentangan/tidak sejalan dengan ketentuan UU yang juga sebagai sumber hukum.

Contoh:

Dalam Putusan MA-RI tersebut mengatur mengenai surat Kuasa mutlak yang menurut putusan MA-RI a quo, tidak dapat ditarik kembali, sementara dalam Pasal 1813 KUHPerdata menjelaskan tentang berakhirnya pemberian kuasa, yaitu :


a). Pemberian kuasa berakhir jika salah satu pihak meninggal dunia. Pemberian kuasa tidak dilanjutkan oleh ahli waris, kecuali jika ahli waris membuat surat kuasa baru atau mengeluarkan pernyataan tertulis untuk melanjutkan persetujuan pemberian kuasa.

b). Pemberian kuasa berakhir jika penerima kuasa memberitahukan penghentian kuasanya kepada pemberi kuasa. Jika pelepasan kuasa dilakukan karena kesalahan penerima kuasa yang merugikan pemberi kuasa, maka penerima kuasa harus memberikan ganti rugi.
Hal ini tentu menjadi persoalan hukum tersendiri mengingat ketentuan pasal 1813 KUHPerdata bukanlah peraturan dibawah UU yang menjadi domain bagi MA-RI utk melakukan uji materiil terhadap norma ketentuan peraturan yang berada dibawah UU, tetapi pasal 1813 tsb adalah suatu ketentuan UU.

Bahwa oleh karena itu, bila menghadapi perkara dengan pertimbangan yang didasarkan pada Putusan Kasasi MA- RI No.73K/Sip/1975 tersebut, saran saya baiknya diajukan Peninjauan Kembali terhadap Putusan MA-RI tersebut,atas dasar dan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Bahwa Putusan Majelis Hakim Agung Kasasi dengan pertimbangan hukum sebagai mana dimaksud adalah patut dinilai salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang- undangan ( ex pasal 1813 BW) yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

2. Bahwa kuasa mutlak tersebut merupakan suatu perjanjian sebagai mana diatur pasal 1338 jo 1320 KUHPerdata, yang syaratnya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku/ suatu sebab yang tidak halal. Bahwa dengan demikian, jelaslah bahwa Putusan MA-RI yang mendasari pertimbangannya pada adanya keabsahan suatu "surat kuasa mutlak a quo" yang nota bene cacat hukum, maka patut menurut hukum untuk dibatalkan.

Demikian yang bisa disampaikan. Terima kasih🙏🏻

iklaniklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kontroversi Surat Kuasa Mutlak

Trending Now

Iklan