Oleh: Advokat Suwadi, SH, MH.
LEGAL OPINION - Maraknya kasus prostitusi saat ini, berhasil mendapatkan perhatian khusus dari seluruh lapisan masyarakat. Jika melihat kembali ke belakang, masalah prostitusi ini bukan lah hal yang baru lagi, tetapi sudah ada, hanya saja, beberapa pihak menutup mata atas permasalahan prostitusi di Negara kita ini.
Kasus prostitusi yang sedang menjadi perhatian publik saat ini adalah Kasus Prostitusi Online yang dilakukan oleh artis-artis atau bisa kita sebut adalah seorang public figure, dan pengguna jasa prostitusi tersebut salah satunya adalah dari orang-orang yang memiliki kekuasaan di Negara ini, bahkan narapida tipikor sekalipun dapat menikmati jasa prostitusi tersebut.
Kegiatan prostitusi menyangkut aspek sosial, hukum, kesehatan, moral, etika dan norma, agama, psikologis, pendidikan dan ekonomi.
UNICEF memperkirakan bahwa 30% pelaku prostitusi di Indonesia adalah wanita yang berusia di bawah 18 tahun. Lalu, jika ditanyakan alasan pelaku melakukan prostitusi, ada yang beralasan dikarenakan oleh faktor ekonomi, dimana si pelaku ingin mendapatkan uang secara cepat.
Namun apakah faktor ekonomi menjadi satu-satu nya alasan pelaku melakukan prostitusi? Lalu bagaimanakah kedudukan hukum terhadap Pelaku Prostitusi, penyedia jasa prostitusi dan pemakai prostitusi tersebut?
Di Indonesia Prostitusi dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan, moral dan perbuatan melawan hukum. Lalu kembali muncul pertanyaan, jika prostitusi di Negara kita ini dianggap sebagai perbuatan melawan hukum , apakah pengaplikasian hukum yang mengatur tentang prostitusi ini sudah tepat dilakukan?
Ditinjau dari aturan hukum, kegiatan prostitusi dapat dikatakan dipandang sebagai sebuah perbuatan yang melanggar kaidah hukum pidana. Didalam KUHP Pasal 296 jo. Pasal 506 diatur tentang Prostitusi.
Pasal 296
Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Dalam bukunya R. Soesilo yang berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal" menjelaskan bahwa pasal ini menjerat kepada orang-orang yang mengadakan bordil atau tempat pelacuran.Pasal ini menjelaskan bahwa akan diberikan pidana penjara bagi orang-orang yang pekerjaannya dengan sengaja mengadakan perbuatan cabul oleh orang lain dengan pihak ketiga.
Pasal 506
Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
Dalam bukunya R. Soesilo yang berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal" menjelaskan bahwa muncikari adalah makelar cabul, yakni seorang laki-laki yang hidupnya seolah-olah dibiayai oleh pelacur yang tinggal bersama-sama dengan dia yang dalam pelacuran menolong, mencarikan langganan-lagganan dari mana ia mendapat bagiannya.
Dari ketentuan KUHP pada Pasal 296 jo. Pasal 506 tidak ada ketentuan untuk menjerat para pengguna PSK maupun PSK nya tersebut. Dalam ketentuan yang terdapat dalam KUHP hanya mengatur tentang muncikari atau penyedia jasa prostitusi tersebut.
Lalu, melanjutkan pertanyaan "bagaimanakah kedudukan hukum bagi Para Penyedia jasa Prostitusi, Pengguna jasa prostitusi dan PSK nya? Dan bagaimana pengaplikasian hukum terhadap kasus Prostitusi ini? " atau sederhana nya, siapa sajakah yang dijerat hukuman pada kasus prostitusi ini ?
Dalam ketentuan yang terdapat di KUHP tidak ada pasal yang menjerat bagi pengguna Prostitusi ini maupun PSK itu sendiri, dalam KUHP hanya mengatur perihal orang-orang yang menyediakan Prostitusi atau disebut sebagai muncikari. Hal ini seperti yang tertuang dalam pasal 296 jo. Pasal 506 KUHP.
Lalu, bagaimana dengan PSK itu sendiri dan pengguna PSK tersebut?
Hingga saat ini, belum ada Undang-Undang atapun peraturan yang mengatur tentang pengguna PSK dan PSK tersebut. Namun dalam pasal 284 KUHP pengguna PSK dapat di jerat dengan Pasal Perzinahan. Jadi, bilamana pengguna PSK tersebut telah memiliki pasangan resmi, maka dapat dijerat dengan pasal Perzinahan, seperti yang diatur dalam pasal 284 KUHP.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal" mengatakan: Yang dimaksud dengan zinah adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.
Artinya, persetubuhan yang dimaksud itu adalah dilakukan atas dasar kemauan masing-masing kedua belah pihak, tidak ada paksaan dari salah satu pihak. Jadi, kegiatan prostitusi yang terjadi ini, adalah atas dasar kemauan dari seluruh pihak, dengan kata lain, seharusnya dalam kasus prostitusi ini, seluruh pihak baik pengguna PSK, dan PSK itu sendiri adalah pelaku pelanggaran norma hukum.
Jadi, bilamana ada dalam satu kasus prostitusi yang dimana status tersangka hanya diberikan kepada muncikari saja, dan PSK disebut sebagai korban yang mendapatkan sanksi sosial dan pengguna PSK ditempatkan di posisi hanya sebagai saksi adalah hal yang wajar. Mengapa?
Secara logika seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa kegiatan Prostitusi dan atau perzinahan adalah perbuatan yang didasari rasa kemauan dari keseluruhan pihak tanpa ada paksaan dari pihak lain, dimana si PSK dan muncikari mendapatkan uang dari kegiatan prostitusi tersebut dan pengguna jasa mendapatkan keinginannya dari muncikari dan PSK tersebut. Maka kesalahan seharusnya tidak hanya diberatkan kepada muncikari saja, ataupun kepada PSK-nya saja, tetapi bagi pengguna PSK pun harus dijerat hukuman dan diberikan sanksi sosial seperti yang didapatkan oleh penyedia jasa Prostitusi dan PSK.
Sebagai contoh kasus, seorang artis yang tersandung kasus prostitusi. Dimana dalam kasus ini si artis ini dinyatakan sebagai korban. Lalu, bagaimana jika dalam kegiatan prostitusi ini si artis yang meminta kepada muncikari untuk dijual kepada pengguna atau pelanggan prostitusi tersebut? Apakah Si artis ini dapat dijerat dengan pasal 55 dan 56 KUHP?
Pasal 55 (turut melakukan) dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (membantu melakukan):
Pasal 55 KUHP:
(1). Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;
2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
(2). Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.
Pasal 56 KUHP:
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, R. Soesilo berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "orang yang turut melakukan" (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP adalah" orang yang bersama-sama melakukan" minimal harus ada dua orang, yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Misalnya disini tidak bisa hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, karena jika demikian, orang yang menolong itu tidak masuk "yang turut melakukan(medepleger)" tetapi akan dihukum sebagai "membantu melakukan" (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.
Kemudian dalam Pasaal 56 KUHP R. Soesilo menjelaskan bahwa orang "membantu melakukan" jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum kejahatan itu dilakukan. Jadi yang dimaksud adalah orang yang membantu melakukan tindak pidana tersebut, memberikan bantuan untuk melakukan tindak pidana tersebut, sebelum dilakukannya tidak pidana itu.
Dalam kasus ini, si artis dapat dijerat dengan pasal 55 KUHP, mengapa demikian, jika pada kasus ini si artis yang meminta kepada muncikari untuk mencari pelanggan PSK, maka dia adalah yang turut melakukan tindak pidana prostitusi tersebut. Karena dalam hal kasus ini, si artis tidak melakukan prostitusi tersebut dalam keadaan terpaksa, tetapi atas keinginan sendiri. Lalu, terhadap muncikari dapat dijerat dengan pasal 56 KUHP, karena dalam kasus ini, si muncikari turut membantu melakukan tindak pidana prostitusi tersebut, sebelum kegiatan prostitusi tersebut dilakukan, dia membantu mencari pelanggan PSK atas permintaan dari si artis tersebut.
Dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Pidana Indoneisa, Drs. P.A.F Lamintang, SH, mengutip pendapat Profesor van Hattum, yang mengatakan perbuatan "turut melakukan" di dalam Pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Jadi, dalam kasus prostitusi artis ini sangat jelas sekali baik mucikari maupun PSK tersebut dapat dijerat dengan pasal 55 dan 56 KUHP, kerjasama antara mucikari dan PSK untuk melakukan kegiatan prostitusi tersebut adalah untuk mencapai kehendak bersama yaitu mendapatkan imbalan dan atau uang dari pelanggan PSK, dan untuk mencapai kehendak mereka bersama, mereka harus bersama-sama dalam melaksanakan prostitusi tersebut. Dalam kasus prostitusi ini, muncikari melakukan tindakan perdagangan manusia dan mengeksploitasi terhadap PSK, hal ini berdasarkan dengan ketentuan UU Nomor 21 Tahun 2007 yaitu :
Pasal 1 ayat (1) :
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Pasal 1 ayat (7) :
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Pasal 1 ayat (8) :
Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Pasal 1 ayat (9) :
Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.
Pasal 1 ayat (10) :
Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.
Berdasarkan pasal 1 UU Nomor 21 Tahun 2007, muncikari tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai pelaku perdagangan manusia. Dimana muncikari tersebut melakukan perekrutan terhadap wanita baik dewasa dan atau anak dibawah umur, dengan mengeksploitasinya sebagai PSK baik secara terpaksa dan atau dengan tidak terpaksa dengan melakukan pengiriman dan atau memberangkat PSK kepada pelanggan PSK tersebut. Muncikari dapat dijerat dengan berdasarkan pasal 2 UU Nomor 21 Tahun 2007, yaitu dapat dikenakan pidana penjara 3 tahun dan paling lama 5 tahun dengan denda paling sedikit 120 juta dan paling banyak sebesar 600juta.
Namun walaupun belum ada secara khusus peraturan yang mengatur maupun dalam KUHP tentang Pengguna PSK dan PSK ini, di beberapa daerah ada sanksi bagi PSK dan pengguna nya yang dituangkan dalam peraturan daerah masing-masing.
Sebagai contoh salah satu peraturan daerah yang mengatur hal tersebut adalah Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum terdapat dalam pasal 42 ayat (2).
Jadi, ketentuan di dalam KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat germo/muncikari/dan penyedia PSK. Pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pemakai/pengguna PSK diatur dalam peraturan daerah masing-masing.
Kegiatan prostitusi ini telah menjadi suatu perbuatan yang sangat meresahkan, merusak ketertiban masyarakat, norma dan agama, dan sebaiknya sudah seharusnya dicari solusi yang baik dan tepat untuk menangani masalah prostitusi ini, salah satunya adalah dengan melalui jalur hukum, khususnya hukum pidana. Dengan memasukkan prostitusi ke dalam terminologi hukum.