Oleh: Advokat Suwadi, SH, MH.
LEGAL OPINION - Sebagian besar masyarakat Indonesia tentu masih banyak yang bertanya-tanya mengenai sahnya sebuah perjanjian. Sebenarnya hukum telah menentukan mengenai sahnya suatu perjanjian, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau di masa Kolonial disebut dengan BW (Burgerlijk Wetboek). Dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut, disebutkan, untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat ;
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. Suatu hal tertentu,
4. Suatu sebab yang halal.
Penjelasan singkat atas 4 (empat) hal tersebut adalah sebagai berikut ;
1. Ketentuan ini mensyarakatkan para pihak yang membuat perjanjian (dalam KUH Perdata) disebut sebagai persetujuan harus saling sepakat, dengan kesadaran sendiri dan tidak ada paksaan dari pihak manapun untuk saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian. Apabila tidak dipenuhi salah satu unsur dari kesadaran sendiri maupun tidak ada paksaan dari pihak manapun, maka perjanjian batal demi hukum.
2. Para pembuat perjanjian haruslah orang cakap yaitu orang yang sudah dewasa, bukan kanak-kanak atau seseorang yang berada dalam pengampuan karena cacat mental dan sebab lainnya. Bagaimana dengan seorang istri yang akan membuat perjanjian dengan pihak lain? Maka secara hukum, istri tersebut harus mendapat ijin terlebih dahulu dari suaminya. Tanpa ijin dari suaminya maka sang istri dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian. Apabila suatu perjanjian dilakukan oleh orang yang tidak cakap, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
3. Perjanjian tersebut harus dibuat untuk sesuatu hal yang nyata yang dapat berupa barang maupun jasa, atau sesuatu yang dapat kita perkirakan bentuk dan harganya. Misalnya perjanjian pembangunan sebuah gedung, perjanjian pembangunan jalan raya, perjanjian pengangkutan barang (ekspedisi) dan lain sebagainya. Apabila perjanjian tersebut tidak menyebutkan apa yang diperjanjian maka secara hukum perjanjian tersebut batal demi hukum.
4. Perjanjian tersebut harus berdasarkan hal yang halal dan bukan berdasarkan hal yang dilarang oleh hukum. Perjanjian yang berdasarkan hal yang dilarang oleh hukum, misalkan perjanjian untuk menyediakan tempat berjudi, perjanjian untuk menjual minuman keras, perjanjian untuk menyediakan tempat prostitusi dan lain sebagainya. Apabila perjanjian tersebut didasarkan atas sebab yang tidak halal maka perjanjian menjadi batal demi hukum.
Demikian sekilas mengenai syahnya suatu perjanjian yang perlu kita pahami bersama sehingga kita semua menjadi lebih berhati-hati ketika kita melakukan atau membuat perjanjian dengan pihak lain.