LEGAL OPINION - Rasanya sudah tidak kurang-kurang upaya pemerintah dalam menangani perkara bullying terhadap anak, akan tetapi terjadi lagi. Saat ini sedang gencar pemberitaan bullying yang dilakukan beberapa anak sekolah tingkat atas (SMA) terhadap seorang anak yang tidak lain adalah adik kelasnya sendiri. Ironisnya, kejadian ini terjadi di sebuah SMA yang berlabel Sekolah Internasional, entah apanya yang internasional, apakah pendidikannya yang internasional atau muridnya internasional atau perilakunya internasional yang lebih banyak tidak mengenal budaya yang sopan dan santun.
Entah apa yang mendasari perlakuan tersebut dilakukan, apalagi diduga ada beberapa anak pesohor yang juga menjadi pelaku bullying. Seakan tidak pernah belajar dari kasusnya Mario Dandy dan juga peristiwa lainnya, pelaku bullying seakan-akan menantang aparat penegak hukum untuk bertindak tegas.
Menjadi pertanyaan bagi kita mengapa bullying terhadap anak masih juga terjadi, meskipun telah banyak penindakan terhadap pelaku bullying dan apa yang harus kita lakukan mencegah terulangnya bullying ;
1. Hilangnya Pendidikan Moral, bagi generasi 80-an dan 90-an tentu tidak asing dengan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Bagi yang belum paham, PMP itu mata pelajaran yang berisikan pendidikan moral dan budi pekerti, meskipun kata orang tua kita, apa yang tercantum dalam PMP belum sejajar dengan pendidikan budi pekerti seperti di tahun 60-an atau bahkan sebelum itu.
Meski demikian, pada era itu, terbukti bahwa anak-anak muda masih begitu hormatnya dengan keberadaan orang tua meskipun bukan orang tua kandung, tetapi setiap orang yang dituakan atau berumur lebih tua dari anak-anak, akan selalu dihormati oleh orang yang lebih muda umurnya atau lebih rendah kedudukannya.
2. Berkurangnya Sarana Dan Prasarana Bermain, harus diakui pada saat ini, semakin sedikit anak muda yang bermain di luar ruangan, sebagian besar justru selalu sibuk dengan gadget (gawai) yang dimilikinya. Hampir tidak ada waktu lagi untuk bersosialisasi dengan anak-anak yang lain, bersosialisasinya dilakukan secara online (daring). Hal ini terjadi karena semakin menyusutnya tempat umum terbuka yang bisa digunakan untuk bermain sehingga anak-anak bisa bermain sepak bola atau bermain bulutangkis atau permainan anak-anak lainnya. Saat ini, setiap ada lahan terbuka, hampir pasti akan disulap menjadi pusat perbelanjaan modern atau perumahan, tidak ada yang berpikir untuk menjadikannya sebagai taman terbuka yang bisa digunakan untuk bermain oleh anak-anak.
3. Kurangnya Pengawasan Orang Tua, di era tahun 80-an atau 90-an, sudah biasa ketika orang tua memarahi anak-anaknya bahkan tidak jarang orang tua sampai memukul kaki anak-anaknya dengan tongkat rotan atau sapu lidi. Hal itu dilakukan tidak lain demi anak-anaknya tidak nakal atau melakukan perbuatan yang tidak baik, bukan bermaksud untuk menyakiti. Jangankan sampai membully, untuk mengolok-olok temannyapun anak-anak di era itu tidak akan berani, karena takut apabila perbuatannya diketahui oleh orantuanya, bukannya didukung malah dihukum. Saat ini, orang tua juga lebih sibuk dengan gawainya atau bahkan sibuk nonton sinetron sehingga abai terhadap apa yang dilakukan oleh anak-anaknya, disamping kegiatan orang tua mencari nafkah.
4. Kembali pada Budaya Santun, bangsa
sudah saatnya kita mendidik anak-anak kita sesuai dengan budaya kita yang santun, menghormati kepada yang lebih tua dan menyayangi serta melindungi kepada yang lebih muda. Dengan berbudaya santun, anak harus dibiasakan untuk berbicara dengan bahasa yang halus yang tidak menyakiti, bertindak yang sopan dan tidak seradak-seruduk, sehingga bisa menjadi contoh perilaku yang baik di masyarakat.
5. Peran serta Guru yang lebih intensif selama di sekolah, seharusnya, setiap guru yang mengajar sudah memahami dan mengetahui karakter setiap anak didiknya, jangan sampai seperti ungkapan bahasa Jawa, digyah uyah atau disamaratakan, bahwa setiap anak pasti memiliki watak yang berbeda. Menjadi tugas guru selama berada di lingkungan sekolah untuk mengawasi perilaku anak didiknya, sehingga bisa meminimalisir kejadian bullying, utamanya di lingkungan sekolah atau terhadap sesama anak didiknya. Ketegasan guru untuk memberikan reward dan punishment terhadap anak didik sangat diperlukan. Jika anak didiknya berprestasi, berikanlah penghargaan atau bahkan hadiah yang bisa semakin memotivasi anak didiknya tersebut menjadi semakin berkembang dan jika anak didiknya melakukan kesalahan, berikanlah hukuman tetapi hukuman yang sifatnya mendidik dan bukan justru menyakiti anak didik yang nakal tersebut.
Mungkin, beberapa hal di atas bisa menjadi pegangan kita dalam melakukan pengawasan terhadap anak-anak kita sehingga tidak terjadi lagi bullying, khususnya di lingkungan sekolah.
Oleh: Advokat Suwadi, SH, MH.
Stop Bullying Anak di Sekolah
sultannews.co.id
Kamis | 11:56 WIB
Last Updated
2024-06-20T04:56:21Z
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
Trending Now
-
SERANG - Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Bapak Purkon Rohiyat, S.H., M.H. didampingi Kepala Seksi Intelijen M. Ichsan, S.H., M.H. beserta Ja...
-
SERANG - Lantaran terlibat dalam pemalsuan dokumen kepemilikan tanah, Kades Bojong Catang berinisial AD (65) ditangkap dan ditetapkan sebaga...
-
JAKARTA - Puluhan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Serang menggelar aksi di depan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mab...
-
SERANG - Menanggapi pemberitaan sebelumnya dengan judul Kegiatan CV. Mitra Mahameru Sinergi Diduga Tidak Sesuai Prosedur Perkerasan, Dinas P...
-
STN - Pencak Silat sebagai seni harus menuruti ketentuan-ketentuan, keselarasan, keseimbangan, keserasian antara wirama, wirasa dan wiraga....