Jadi Tradisi Jelang Puasa Ramadan, Apa itu Munggahan? Berikut Arti dan Sejarah Hingga Tujuannya

Sabtu | 00:50 WIB Last Updated 2024-03-08T17:53:14Z

Foto Ilustrasi Munggahan 

BANTEN - Indonesia memiliki beragam tradisi jelang puasa Ramadan, salah satunya Munggahan. Tradisi Munggahan biasanya dilakukan oleh masyarakat Sunda untuk menyambut bulan suci Ramadan.


Lantas, apa itu sebenarnya Munggahan? Apa saja yang dilakukan saat Munggahan? Berikut informasi selengkapnya.


Seiring dengan dekatnya waktu bulan Ramadan, masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia termasuk Jawa Barat, melakukan berbagai tradisi yang khas. Salah satu tradisi adalah Munggahan. Munggahan artinya apa?


Munggahan menjadi bagian penting dalam budaya lokal, tidak hanya sebagai sebuah ritual, tetapi juga sebagai simbol kebersamaan, dan persaudaraan dalam menyambut bulan suci Ramadan.


Agar dapat lebih memahami tradisi ini, penting untuk menelusuri arti, tujuan, dan bentuk kegiatannya. Jadi, mari kita telusuri lebih dalam mengenai tradisi Munggahan berikut ini.


Arti Munggahan


Dalam penelitian yang berjudul "Perkembangan Tradisi Keagamaan Munggahan Kota Bandung Jawa Barat Tahun 1990-2020", dijelaskan bahwa asal-usul kata "Munggahan" berasal dari "Unggah" yang berarti kenaikan atau peningkatan yang konon pada masa lampau, dipercaya roh nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal.


Dari studi lain yang berjudul "Tradisi Punggahan Menjelang Ramadan (Studi Di Desa Bedono Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang)", disebutkan bahwa Munggahan sering diartikan sebagai tanda kedatangan bulan Ramadan.


Pengertian kata "Munggah" secara tersirat mengacu pada proses transformasi menuju kebaikan dari bulan Sya'ban ke bulan Ramadan untuk meningkatkan kedalaman spiritual saat menjalani ibadah puasa. 


Selain itu, Munggahan juga dapat dimaknai sebagai perjalanan menuju ke tempat yang lebih tinggi, yang melambangkan pencapaian spiritual yang lebih mulia saat memasuki bulan Ramadan sebagai bulan keberkahan.


Sejarah Munggahan


Munggahan memiliki makna filosofis yang dalam dengan melibatkan hubungan antara dua kelompok masyarakat yang berbeda. 


Kelompok pertama disebut sebagai penduduk "Hinggil" yang merupakan keturunan langsung atau dekat dari nenek moyang, dan umumnya tinggal di wilayah asal. 


Sementara itu, kelompok kedua adalah penduduk "Handap" yang merupakan generasi paling muda atau yang telah berpindah tempat tinggal ke daerah perantauan.


Penduduk "Hinggil" memiliki peran dalam menjaga keaslian budaya nenek moyang, serta dianggap lebih dekat dan mampu berkomunikasi langsung dengan Tuhan dan roh nenek moyang. 


Di sisi lain, penduduk "Handap" berperan sebagai pengembang ekonomi, sosial, dan politik, namun dianggap tidak memiliki akses langsung dalam berkomunikasi dengan Tuhan dan roh nenek moyang, sehingga memerlukan mediasi dari penduduk "Hinggil".


Momen penting dalam tradisi ini terjadi selama bulan Sya'ban, yang dipercaya sebagai waktu berkumpulnya roh para leluhur. 


Dalam bahasa Sunda, bulan Sya'ban sering disebut sebagai "Ruwah" yang artinya roh. Pada waktu tersebut, dilakukan doa bersama bagi roh nenek moyang atau anggota keluarga yang telah meninggal.


Tradisi Munggahan dianggap sakral bagi kedua kelompok masyarakat, penduduk "Hinggil" dan "Handap", sebagai momen berkumpul dan menghormati leluhur. 


Saat agama Islam masuk ke suku Sunda, tradisi Munggahan berubah menjadi upacara penyambutan bulan Ramadan. Namun, seiring perkembangan waktu, tradisi ini terus bertransformasi menyesuaikan dengan perubahan kondisi sosial dan budaya.


Tujuan Munggahan


Tradisi Munggahan menjadi sebuah ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas berkah dan kesempatan bertemu dengan bulan Ramadan untuk berpuasa dan membersihkan jiwa. 


Hal ini dilakukan dengan harapan agar puasa berjalan lancar dan dapat menjauhkan diri dari perilaku yang buruk.


Selain itu, tujuan lain dari tradisi ini adalah untuk membersihkan diri dari segala dosa yang pernah dilakukan, serta sebagai wadah untuk memupuk toleransi, saling menghormati, dan menjaga keharmonisan dalam hubungan antar sesama. 


Dengan demikian, ketika memasuki bulan puasa, baik secara fisik maupun spiritual, seseorang dapat kembali suci.


Bagi masyarakat Sunda, tradisi Munggahan memiliki makna khusus sebagai sarana penyucian diri. Meskipun tradisi ini bukan bagian dari ajaran agama secara langsung, namun memiliki nilai-nilai positif untuk mempererat silaturahmi, meningkatkan interaksi sosial, dan membuka pintu maaf antar sesama. 


Hal ini sesuai dengan ajaran dalam Al-Qur'an, seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 222 tentang taubat dan membersihkan diri.


Kegiatan Munggahan


Meskipun berasal dari masyarakat Sunda, tradisi Munggahan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat diaplikasikan oleh berbagai suku dan etnis. 


Meskipun pelaksanaannya bervariasi di setiap daerah, perbedaan tidak mengurangi esensi dan tujuan dari tradisi ini.


Kegiatan Munggahan sering kali menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga dan kerabat. Terutama bagi keluarga yang berada di perantauan, Munggahan menjadi kesempatan untuk pulang kampung dan bersilaturahmi kembali dengan keluarga di kampung halaman. 


Kegiatan dari tradisi ini dapat dilakukan dengan makan bersama, yang sering disebut sebagai "Botram", saling bermaafan, berdoa bersama, mengunjungi makam leluhur, berwisata, atau bahkan melakukan kegiatan amal seperti sedekah Munggahan.

iklaniklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Jadi Tradisi Jelang Puasa Ramadan, Apa itu Munggahan? Berikut Arti dan Sejarah Hingga Tujuannya

Trending Now

Iklan