SERANG- STN Mahasiswa Cantik nan Menawan Jurusan Ilmu Komunikasi Semester 1 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Memberikan pandangan dan mengulas kembali Histori tentang Tragedi 98 yang terjadi pada 12-15 Mei 1998 tentang peristiwa yang sangat memorial bagi masyarakat Indonesia. "Minggu (12/11/2023)
Masih ingatkah kita Tragedi 98 yang terjadi pada 12-15 Mei 1998 merupakan peristiwa yang sangat memorial bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Peristiwa ini sudah menelan beribu-ribu korban jiwa, peristiwa yang memberikan dampak luas bagi bangsa Indonesia, dan juga peristiwa yang menjadi sejarah kelam bagi perjalanan bangsa Indonesia. " Ungkap Syaqila Refalina Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Seperti yang kita tahu tragedi ini terjadi saat Indonesia sedang mengalami krisis moneter yang meluas hingga ke ranah politik di masa kepemimpinan Soeharto. Pada tragedi inilah kemurkaan masyarakat dimulai karena tidak puas atas kinerja pemerintah serta korupsi yang merajalela.
Tragedi ini diawali dengan dilakukannya demonstrasi oleh para mahasiswa. Universitas Tri Sakti pada tanggal 12 Mei 1998. Namun demonstrasi tersebut berlangsung sangat ricuh ketika keempat mahasiswa Universitas Tri Sakti tertembak oleh aparat keamanan, keempat mahasiswa tersebut bernama Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Akibat kejadian tersebut menjadikan demonstrasi berlanjut sebagai bentuk protes atas tindakan represif aparat keamanan tersebut.
Dampak dari demonstrasi itu semakin luas ke berbagai wilayah di Indonesia, dan ada salah satu etnis yang menjadi sasaran empuk para pengunjuk rasa ini yaitu etnis Tionghoa.
"Mengapa demikian etnis Tionghoa menjadi sasaran para pengunjuk rasa ini?
Ternyata setelah di telusuri, beberapa pengusaha yang diduga etnis Tionghoa melakukan korupsi saat terjadinya krisis moneter. Amukan para pengunjuk rasa semakin hari semakin tidak terkendali, mereka membakar fasilitas umum, serta gedung-gedung, dan juga toko-toko yang diduga dimiliki etnis Tionghoa. Pada tragedi ini kondisi etnis Tionghoa sangat memilukan, para wanita Tionghoa di perkosa secara massal, dilecehkan, serta dibunuh oleh para pengunjuk rasa ini.
Salah satu korban nya yaitu Ita Martadinata Haryono, wanita berumur 17 tahun yang juga merupakan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Ita Martadinata Haryono dibunuh oleh Suryadi secara keji dan ditemukan dikamar rumahnya pada 9 Oktober 1998. Banyak khalayak menduga bahwa pembunuhan ini merupakan pembungkaman bagi mereka yang terlibat aktivis untuk memberi kesaksian kebiadaban tragedi 98 ini.
Demonstrasi ini mendesak Presiden Soeharto untuk turun dari jabatan nya sebagai presiden, dan akhirnya Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden dan digantikan dengan B.J.Habibie.
Pada kepemimpinan Presiden B.J.Habibie ini merupakan awalan dari era baru atau disebut sebagai era reformasi, namun masyarakat mengkritik B.J.Habibie bahwa kepemimpinan di era reformasi ini akan sama saja dengan era Orde Baru karena B.J.Habibie dianggap sebagai bagian dari Orde Baru.
Presiden B.J.Habibie tidak putus asa membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi, Beliau mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru yang membuat masyarakat Indonesia memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, sehingga Beliau dijuluki sebagai Bapak Demokrasi.
Setelah itu Presiden B.J.Habibie dijuluki sebagai Bapak Demokrasi karena Beliau berhasil membawa Indonesia semakin demokrasi dengan mengutamakan Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan pers, serta kebijakan-kebijakan lain yang sebelumnya dibatasi atau dilarang.
Saat kepemimpinan B.J.Habibie, demokrasi dijalankan dengan mengutamakan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu dalam kebebasan berpendapat di muka umum. Pada era reformasi ini, Presiden B.J.Habibie mengeluarkan Undang-Undang No.9 Tahun 1998 tentang kebebasan berpendapat. Maka mengeluarkan undang-undang ini agar masyarakat Indonesia mendapatkan hak nya dalam mengemukakan pendapat nya dimuka umum serta diketahui secara luas.
Pada era reformasi juga pers dibebaskan untuk menyajikan atau menyiarkan informasi-informasi serta pendapat para masyarakat Indonesia secara terbuka dan bebas, sehingga jumlah pers pada era reformasi relatif banyak.
Tidak seperti sebelumnya pada masa Orde Baru jika ada pers yang menyajikan atau menyiarkan suatu yang sifatnya memprovokasi atau mengkritik pemerintah, pers tersebut akan menjadi tahanan politik (Tapol) karena siaran tersebut dianggap mengujar kebencian terhadap pemerintah, akibat permasalahan tersebut pers pada masa Orde Baru relatif sedikit.
Pada perubahan politik pada era reformasi juga terlihat dari pemilihan umum (pemilu). Pada masa kepemimpinan presiden B.J.Habibie masyarakat ikut andil dalam pemilihan umum (pemilu) dalam rangka pemilihan calon presiden dan wakil presdien, mengingat sebelumnya pemilihan calon presiden dan wakil presiden melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Maka itulah sedikit sejarah singkat yang dapat saya sampaikan semoga pembaca serta pemuda dan Generasi Milenial, mahasiswa serta masyarakat pada umumnya dapat sedikit melihat kembali sejarah yang telah tertoreh kan dalam catatan sejarah. Agar masyarakat dalam Era Digitalisasi yang begitu modern ini dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan zaman untuk Indonesia maju. " Tutup
Oleh: Syaqila Refalina Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi
Editor : ENTIS SUMANTRI