Cessie adalah cara pengalihan dan / atau penyerahan piutang atas nama sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 613 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata). Piutang yang timbul berdasarkan kegiatan pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank merupakan suatu tagihan atas nama. Tagihan itu melibatkan dua pihak yaitu kreditur dan debitur.
Seperti yang tercantum dalam pasal 613 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai penyerahan yaitu penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas (mengambil tindakan pemilikan) terhadap kebendaan tersebut.
Upaya hukum yang dilakukan dalam pengalihan piutang dengan skema cessie ini dapat melalui gugatan contentiosa maupun gugatan voluntair dimana pengajuannya dapat diajukan di pengadilan agama maupun pengadilan negeri. Jika perkara cessie tersebut berada pada pihak perbankan syariah maka perkara itu dapat di daftarkan pada pengadilan agama sesuai dengan kompetensinya masingmasing sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam kaitannya dengan kompetensi mengadili maupun kompetensi lainnya.
Kemudian, jika perkara cessie tersebut berada pada pihak perbankan umum atau dengan kata lain bank konvensional, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Dalam bentuk gugatan yang diajukan juga bisa menggunakan gugatan voluntair maupun gugatan contentiosa.
Jika ada sengketa pada perkara cessie tersebut seperti debitur lama untuk mengosongkan kediaman yang akan dibeli oleh debitur baru maka dapat mengajukan gugatan wanprestasi (Pasal 1338 KUH Perdata, Pasal 1243, Pasal 1267, Pasal 1237 ayat (2) Jo Pasal 181 ayat (2) HIR dan dimintakan kepada hakim dalam petitum gugatan untuk mengosongkan rumah tersebut dalam keadaan benar-benar kosong di pengadilan.
Namun jika perkara pengalihan piutang dengan skema cessie tersebut tidak mengandung sengketa maka dapat diajukan gugatan voluntair atau mengajukan sebuah permohonan ke pengadilan sesuai dengan kompetensinya baik kompetensi absolut maupun kompetensi relatifnya harus disesuaikan agar tidak menyalahi perundang-undangan atau peraturan yang berlaku.
Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1230K/Sip/1980
Penulis: Adv. Suwadi, SH, MH.