Dok. Prof Yusril Ihza Mahendra Ketua Umum Partai Bulan Bintang (ist) |
Banten - Ketentuan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat 1 huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Menyangkut Penerapan Sistem Proporsional Terbuka bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena:
a. melemahkan, mereduksi fungsi partai politik.
b. melemahkan kapasitas pemilih.
c. dan menurunkan kualitas pemilihan umum.
Sistem proporsional terbuka telah melemahkan kedudukan dan fungsi partai politik, serta melemahkan kapasitas pemilih untuk dapat dengan sadar menguraikan hak pilihnya semaksimal mungkin.
Selain berdampak pada kedua pihak di atas, tiada yang pernah menyangka bahwa sistem proporsional terbuka yang bertujuan memperkuat pemilih ternyata bergeser memperkuat kandidat yang populer dan berkemampuan finansial tinggi sehingga muncul kondisi yang dapat diberi istilah sebagai candidate heavy atau keadaan dimana kandidat atau figur-figur tertentu menjadi penentu arah jalannya suatu partai politik tanpa bisa dikontrol oleh partai.
Posisi candidate heavy semakin menambah lengkap lemahnya kedudukan partai dalam mengontrol dan mengatur arah gerak partai politik termasuk dalam peran partai sebagai peserta pemilihan umum itu sendiri.
Kondisi candidate heavy paling nyata terlihat dalam konteks pemilu, yaitu adanya konteks politik uang atau money politics.
Ketika pemilihan umum berlangsung dilaksanakan tahun 2004-2009, tidak pernah ada di benak para pengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa desentralisasi kekuasaan diikuti pula desentralisasi kesempatan dan kemampuan untuk melakukan pelanggaran hukum, seperti korupsi dan dalam konteks kontestasi pemilihan umum adalah desentralisasi politik uang atau money politics.
Sistem proporsional terbuka memperparah spektrum politik uang menjadi lebih tersebar dan masif sejak diberlakukan hingga hari ini. Aktor utama politik uang dalam pemilihan umum hari ini adalah oknum kandidat. Mengapa demikian? Dimaksud atas politik uang itu tercipta akibat berlakunya ketentuan norma suara terbanyak.
Bahwa akibat keterpilihan seorang kandidat dilekatkan kepada syarat perolehan suara terbanyak, maka ada tiga pola politik uang yang muncul sebagai jalan pintas untuk mencapai perolehan suara terbanyak itu, yaitu antara lain.
Pertama, politik uang dari oknum kandidat kepada oknum pemilih dalam bentuk bagi-bagi amplop, sembako, bingkisan, dan lain-lain.
Dua, kedua politik uang dari oknum kandidat kepada oknum penyelenggara dalam bentuk jual beli sisa kertas suara atau jual-beli suara dalam tahap rekapitulasi, termasuk jual-beli sengketa proses.
Tiga, Politik uang dari oknum kandidat kepada sesama oknum kandidat dalam bentuk jual beli keterpilihan berdasarkan perolehan suara yang didapat masing-masing kandidat.
Dalam ketiga pola politik uang di atas tidak pernah terjadi dalam era sistem proporsional tertutup, kesemuanya disebabkan oleh sisi gelap dari penerapan sistem proporsional terbuka.
Bahwa masifnya politik uang akibat mengejar keterpilihan suara terbanyak itu telah nyata merusak kualitas demokrasi.
Masifnya politik uang yang dilakukan oknum-oknum kandidat menjadi gayung bersambut di hadapan para pemilih yang lemah secara struktural yang tidak tahu bagaimana seharusnya mengoptimalkan penggunaan hak suaranya.
Lemahnya kemampuan partai mengontrol kadernya dan persoalan integritas oknum penyelenggara menjadi kombinasi yang sempurna untuk mereduksi atau melemahkan kualitas pemilihan umum kita.
Pada akhirnya, kandidat yang terpilih bukan karena kapasitas dan kemampuan bekerja, melainkan karena keterkenalan dan keterpilihan yang dibeli dengan politik uang.
Dalam jangka panjang, bisa dibayangkan bahwa pola demikian tentunya akan menurunkan kualitas demokrasi. Semua terjadi karena sistem pemilihan terbuka telah memunculkan keadaan candidate heavy tanpa adanya upaya dari partai untuk melakukan kontrol dan mengembalikan keadaan seperti semula.
Bahwa apabila menggambarkan pertarungan pemilu layaknya pertarungan pasar di sektor usaha dan partai diibaratkan seperti organisasi perusahaan, maka dalam mekanisme pasar setiap perusahaan berupaya semaksimal mungkin memenangkan persaingan bisnis dengan terus melakukan inovasi.
Perusahaan fokus pada peningkatan kualitas produk-produknya, sehingga medan pertarungan di dunia usaha adalah pertarungan produk, bukan pertarungan figur. Para konsumen tidak terlalu peduli dengan figur-figur di balik produk-produk yang berkualitas, bahkan perusahaan-perusahaan menempati posisi teratas di dunia amat jarang sekali memperkenalkan figur-figur dibalik kehebatan produk-produknya.
Kita hampir tidak pernah mengenal nama CEO dibalik brand-brand besar. Demikianlah semestinya partai politik. Undang-Undang Pemilu harus mengubah gameplay pemilu menjadi pertarungan produk, bukan pertarungan figur antarkandidat.
Undang- Undang Pemilu juga harus mampu mendorong kandidat menjual karya berupa program, ide, dan gagasan politik bersama partainya, dengan begitu pemilih pun akan terdidik untuk mengenal produk ideologis dari partai yang dipilihnya, bukan sekadar memilih kandidat yang terkenal atau ia kenal.
Bahwa gameplay pertarungan produk antar partai itu tidak akan pernah dapat dilakukan dengan sistem proporsional terbuka, sebab sistem ini sejak awal memberikan posisi dominan kepada para figur kandidat. Satu-satunya jalan untuk itu adalah dengan mengembalikan otoritas politik yang telah bergeser kepada kandidat agar dikembalikan kepada partai politik.
Undang-Undang Pemilu harus mampu membuat partai kembali ke fitrahnya untuk meramu program, gagasan, dan ide terbaiknya, serta menyodorkan orang-orang yang memang mampu mengembankan tugas tersebut atas nama partai, bukan atas nama kepentingan kandidat pribadi. Dengan begitu, partai-partai akan kembali menjadi ideologis yang disodorkan juga berkarakter, ideologis, dan lambat laun pemilih kita pun akan terdidik ideologis pula.
Sejarah akan mencatat jejak partai atau political footprint partai secara jelas setiap program-program kebaikan bagi negeri yang diusung partai politik akan dicatat sejarah sebagai prestasi partai politik bagi negeri ini. Dengan begitu, liberalisasi politik akan sembuh dengan sendirinya baik dari sisi partai kandidat dan pemilih akan sembuh dengan sendirinya dan terbangun menjadi lebih baik.
Bahwa sistem proporsional terbuka pada akhirnya telah melemahkan partai, pemilih, dan pemilu itu sendiri, sehingga apa yang dicita-citakan dalam Undang-Undang Dasar mengenai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat tidak pernah tercapai.
Sistem proposional terbuka ternyata membuat kedaulatan rakyat tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Berlakunya sistem proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi partai politik, para pemilihnya, dan kualitas Pemilu itu sendiri.
Atas dasar itu, ketentuan - ketentuan pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 24D ayat (1) undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun, 1945 yang mewajibkan norma hukum harus menghadirkan kepastian hukum yang adil, bukan justru sebaliknya.
Terakhir. Bahwa oleh karena telah nyata sistem proporsional terbuka melemahkan fungsi partai politik, melemahkan kapasitas pemilih, dan melemahkan kualitas pemilu, maka beralasan menurut hukum agar ketentuan pasal yang mengatur sistem proposional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu, terutama Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2) dan seterusnya, penulis berpendapat bahwa bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya layak dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dikembalikan kepada mereka yang benar-benar menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.