Oleh: Adv. Suwadi, S.H, M.H. |
STN - Sebuah karya besar bangsa Indonesia di bidang hukum ketika bangsa Indonesia berhasil membuat sebuah Undang-Undang yang cukup menarik perhatian masyarakat.
Penerbitan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi tonggak kebangkitan hukum pidana nasional.
Sebuah Undang-Undang yang cukup fenomenal dikarenakan Rancangan Undang-Undang tersebut sudah digagas sejak tahun 1970an dalam berbagai seminar, diskusi dan berbagai macam kegiatan lainnya. Bahkan sempat muncul beberapa naskah akademik yang diharapkan bisa menjadi dasar dari pembentukan KUH Pidana baru.
Namun semuanya gagal menjadi sebuah Undang-Undang, hal ini tidak terlepas dari adanya berbagai kepentingan yang melatarbelakangi pembentukan KUH Pidana baru.
Berbagai pertanyaan tentu akan timbul dengan adanya KUH Pidana baru tersebut.
Hal ini tentu wajar mengingat KUH Pidana baru tersebut baru akan diberlakukan pada tahun 2025, berbeda dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sejak diundangkan.
Mengapa berbeda? Hal ini dikarenakan KUH Pidana baru membutuhkan sosialisasi yang tidak singkat, mengingat dengan adanya KUH Pidana baru ini akan menghapuskan beberapa ketentuan perundang-undangan yang sudah ada, atau setidaknya mengurangi keberlakuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Ada beberapa hal yang menjadi sesuatu yang baru di dalam hukum pidana Indonesia yang bisa menjadi catatan kita bersama.
Beberapa hal tersebut antara lain adalah:
1) Diakuinya hukum adat atau hukum yang berlaku di dalam masyarakat, hal ini diatur di dalam Pasal 2 KUH Pidana baru. Pada kenyataannya, tidak semua daerah memiliki hukum adat dan hukum adat yang berlaku di satu daerah belum tentu dapat diterapkan di daerah lain, hal ini bisa menimbulkan ketidak pastian hukum dan ketidakadilan;
2) Adanya kerancuan pemidanaan apabila seseorang melakukan tindak pidana (misalkan dilakukan pada tahun 2025) kemudian baru tertangkap pada tahun 2027 dan sebelum pelaku tertangkap ada perubahan perundang-undangan yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku tersebut bukan merupakan tindak pidana, apakah pelaku tindak pidana tersebut otomatis akan dibebaskan atau setidaknya tidak dilakukan proses hukum terhadap yang bersangkutan? (lihat Pasal 3 KUH Pidana baru);
3) Hal yang sama adalah apabila seorang Terpidana yang sedang menjalani pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama kemudian ada perubahan peraturan perundang-undangan yang baru yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Terpidana tersebut bukan merupakan tindak pidana, apakah otomatis Terpidana harus dibebaskan? (lihat Pasal 3 KUH Pidana baru).
4) Tentang pengulangan tindak pidana (residive), dalam KUH Pidana yang baru sesuatu pengulangan tindak pidana hanya dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang mempunyai ancaman pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III, bagaimana dengan tindak pidana yang ancaman pidananya kurang dari 4 (empat) tahun? (lihat ketentuan Pasal 23 ayat (2) KUH Pidana baru).
5) KUH Pidana baru ini hanya mengenal alasan PEMBENAR sebagai pengecualian tindak pidana namun tidak mengatur mengenai alasan PEMAAF, padahal kedua alasan tersebut mempunyai hakekat pengertian yang berbeda. (lihat Pasal 12 ayat (3) dan ketentuan Pasal 31 s/d Pasal 35 KUH Pidana baru).