Dok. Pencerahan Hukum Oleh: Adv. Suwadi, SH, MH. (ist) |
Serang, STN - Ide perampasan aset pelaku tindak pidana terorganisir sebenarnya sudah tercetus sejak pembahasan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Penanganan Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Korporasi. Dalam pembahasan tersebut, ternyata terkuak suatu fakta bahwa ternyata aset dari para pelaku tindak pidana yang terorganisir cukup besar, baik secara nilai nominal maupun jumlah wujud fisiknya.
Atas dasar itu maka diperlukan adanya upaya yang lebih dikhususkan untuk mengelola aset tersebut, baik selama menunggu putusan pengadilan maupun setelah adanya putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Mengingat bahwa adanya keterbatasan pemberlakuan dari PERMA Nomor 13 tahun 2016, maka dalam pembahasan PERMA tersebut, maka pada saat pembahasan PERMA tersebut disepakati bahwa mengenai perampasan aset akan diajukan sebagai Rancangan Undang-Undang.
Diajukannya pengaturan mengenai perampasan aset tersebut dikarenakan banyak hal yang harus diatur secara terperinci dan jelas, sehingga diperlukan wadah/tempat yang lebih luas, dalam hal ini adalah diatur di dalam Undang-Undang, oleh karena itu, perihal perampasan aset, diajukan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang yang akan dibahas oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kenapa harus dengan Undang-Undang? Hal ini dikarenakan fungsi dari PERMA hanyalah sebagai pengisi kekosongan Hukum Acara Pidana (Hukum Formil) yaitu hukum yang mengatur tata cara beracara di pengadilan dan bukan sebagai pengganti maupun pengisi dari kekosongan Hukum Materiil yang berisikan aturan-aturan yang serba terperinci berikut ancaman hukumannya atas pelanggaran dari pasal-pasal yang ada di dalamnya. (Bersambung)