Oleh: Mukarromah, Anggota PPLN Jeddah, Divisi Perencanaan dan SDM |
Jeddah, STN - Tim Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Jeddah melaksanakan sosialisasi pemilu perdana di daerah tapal batas Arab Saudi, Tabuk. Kegaitan tersebut dilaksanakan dari tanggal 3 hingga 4 Maret 2023. Tabuk berada di barat daya Arab Saudi dan berbatasan langsung dengan Jordan.
Dunia mungkin sudah mengenal Neom dan Line, dua kota yang sedang dibangun dengan penataan yang belum pernah ada sebelumnya. Neom, kota futuristic dengan panorama es di puncak sampai pantai di dataran rendah. Kota ini direncanakan memiliki luas 33 kali luas kota New York City di Amerika Serikat dan akan dibangun dengan biaya USD 500 milyar.
Bukan karena kedua kota itu yang menyebabkan Tabuk menjadi lokasi pertama sosialisasi pemilu di provinsi terluar Arab Saudi. Tetapi, karena kekhususan program Pelayanan Terpadu (Yandu) yang dilaksanakan di Bulan Maret oleh KJRI Jeddah. Bulan ini, KJRI melaksanakan kickoff program pasporisasi untuk tahun 2023. Program yang memberikan kesempatan kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak berdokumen untuk memiliki paspor.
Sedari awal, KJRI telah membuka diri terhadap ide sinergisme sosialisasi pemilu dalam kegiatan Yandu. Pertimbangan utamanya, tidak mudah mengumpulkan orang di Arab Saudi. Perlu bersurat kepada Kementrian Luar Negeri terlebih dahulu dan prosesnya tidak cepat. Apalagi mengumpulkan WNI tidak berdokumen. Jika dilaksanakan tanpa izin, risiko terburuk yang mungkin terjadi adalah penangkapan dan deportasi. Sosialisasi Pemilu kemudian disepakati akan dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan Yandu untuk pertimbangan keamanan dan efisiensi biaya. Ini merupakan dukungan luar biasa yang diberikan oleh KJRI Jeddah kepada PPLN.
WNI tidak berdokumen menjadi sasaran paling tepat dalam kegiatan sosialisasi. Sebagian besar dari mereka kemungkinan besar belum pernah mengikuti Pemilu di luar negeri. Karena, untuk menjadi pemilih, salah satu syarat adalah memiliki paspor, Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP), atau KTP elektronik. Syarat KTP elektronik agak memberatkan karena mayoritas WNI tidak berdokumen adalah WNI yang telah tinggal berpuluh-puluh tahun di Saudi dan belum pernah pulang. SPLP hanya akan dikeluarkan bagi WNI yang berencana pulang. Maka, bukti terkuat yang dapat digunakan untuk mengklaim kewarganegaraan WNI dan hak pilihnya adalah paspor. Dan, program pasporisasi ini merupakan kebijakan yang sangat tepat dari pemerintah. Karena, WNI yang belum pernah menjadi pemilih dapat menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2024.
Sosialisasi Pemilu di Tabuk dilaksanakan dalam dua sesi, yakni sesi hari pertama dan sesi hari kedua, bertempat di Relax Day Hotel. Hadir dalam sosialisasi tersebut 101 WNI tidak berdokumen yang telah menyatakan kesediaannya mengikuti Pemilu 2024. Jumlah 101 orang mungkin terlihat tidak banyak jika dibandingkan dengan jumlah WNI di Jeddah yang mencapai puluhan ribu. Tetapi, jika dibandingkan dengan pelayanan Yandu regular yang dihadiri oleh rata-rata 45-an orang, jumlah tersebut sudah meningkat dua kali lipat.
Menurut satgas KJRI di Tabuk, Dadang, terjadi penurunan jumlah WNI yang cukup signifikan. Tahun 2013, jumlah pemilih di Tabuk sebesar 1200 lebih, dan kemudian turun menjadi sekitar 450-an di tahun 2019. Tahun ini, berdasakan data pada DP4LN, tercatat 558 data yang sedang dicoklit oleh Pantarlih Tabuk. Jika ditambah dengan jumlah WNI tidak berdokumen yang mengajukan paspor, maka terjadi peningkatan kembali jumlah WNI. Kemungkinan besar WNI memilih untuk tidak berdokumen adalah akibat kebijakan membayar pajak tinggal di Saudi.
Dalam sosialiasi tersebut, PPLN menyampaikan tentang penyelenggaraan pemilu di luar negeri dan tugas utama PPLN, jadwal pemungutan suara, dan cara-cara pemungutan suara di luar negeri. Juga disosialisasikan tentang kegiatan pemutakhiran data oleh Pantarlih, serta peningkatan kesadaran tentang hak pilih, dan pemberian motivasi kepada WNI untuk menggunakan hak pilihnya.
Antusiasme WNI untuk mengikuti pemilu terlihat ketika WNI menyampaikan kekhawatiran-kekhawatirannya. Salah satu yang paling krusial adalah kemungkinan tidak bisa mengikuti pemilu karena tidak mendapat izin dari majikan atau syarikah. WNI kemudian mengusulkan agar PPLN membuat surat pemberitahuan kepada majikan/syarikah atau membuat surat panggilan resmi kepada WNI untuk melakukan pemungutan suara di Kotak Suara Keliling (KSK).
Tak kalah pentingnya adalah harapan agar waktu pemungutan suara diperpanjang. Hal ini penting agar WNI yang bekerja di siang hari masih bisa menggunakan hak pilihnya dengan mendatangi KSK di sore atau malam hari. Jika jam pemungutan suara disamakan dengan Indonesia, maka hak pilih WNI yang tidak bisa datang di siang hari akan menjadi hilang.
Artinya, seluruh tenaga, waktu, dana, dan upaya lainnya mulai dari penyusunan DP4LN, pembentukan lembaga ad hoc penyelenggara pemilu LN, proses coklit, penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS), sosialisasi, pendataan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), sampai pada Data Pemilih Tetap (DPT) akan menjadi sia-sia. Masukan ini layak untuk dipertimbangkan oleh seluruh pihak agar hak pilih rakyat tetap terjaga. Pada titik ini, negaralah yang memiliki kewajiban untuk mengupayakan dan memastikan bahwa setiap WNI yang berada di luar negeri bisa menggunakan hak pilihnya. [Zami/*]